| 
  
 
 
 Renungan HUT RI Ke 65 Kusmayanto  Kadiman, Menteri Negara Riset dan Teknologi RI saat itu mendapat  kesempatan untuk mendampingi Presiden Iran Mahmoud Amadinejad ke  Jakarta, dari Selasa 9 Mei hingga Jumat 12 Mei 2006 dalam kunjungan  kenegaraannya. Sekelumit pengalaman mendampingi Ahmadinejad itu  dipublikasikan Pak Kadiman dalam artikelnya yang dimuat Koran Kompas. Pak  Kadiman yang saat itu menjabat sebagai Menristek menulis, Ahmadinejad  tampil sederhana. Presiden Iran ini jauh dari tampilan glamor. Sepatu,  kaus kaki, celana panjang, baju putih kerah, dan jas yang dia pakai  tanpa embel-embel merek terkenal dan biasa kita jumpai di dalam negeri.  Ia pun tidak pernah berdasi sebagai salah satu ciri khasnya.
 Figur  sederhana seperti ini mungkin sulit ditemukan pada tokoh-tokoh nasional  saat ini yang cenderung glamour dan ingin tampil beda. Tidaklah heran  bila presiden seperti Ahmadinejad disambut luar biasa oleh masyarakat  Indonesia. Sambutan luar biasa itu bisa dikatakan sebagai kritikan bagi  para pejabat pemerintah saat ini, khususnya kepada Presiden SBY.
 SBY dan Kemewahannya
 Belum  lama ini, Wisnu Nugroho, wartawan istana memotret bagian kehidupan para  pejabat Indonesia yang cenderung glamour. Wisnu dalam bukunya, Pak Beye  dan Istananya, menulis dunia glamour para pejabat dan bahkan anak  presiden SBY. Ketika berbicara mobil-mobil khusus yang berparkir di  istana. Wisnu yang juga wartawan istana menulis, "Tidak sembarang orang  bisa memarkir mobilnya di halaman istana."
 Mobil  putra bungsu Pak Beye, Edhie Baskoro Yudhoyono, tak lepas dari catatan  Wisnu. Setidaknya dua mobil Ibas -sapaan Edhie Baskoro- terekam kamera  Wisnu, yakni Audi bernopol B 24 EB dan Chevrolet bernopol B 2411 EB.  Masih ada Mercedes-Benz, BMW, dan merek lain yang juga kerap ditunggangi  Ibas. Pada setiap pelat nomor mobil Ibas, dua huruf belakangnya selalu  sama, yakni EB. Itu menunjukkan siapa pemilik mobil-mobil tersebut.  Selain itu, selalu ada unsur angka 24 yang menunjukkan tanggal kelahiran  si empunya.
 Saat  rapat kabinet, halaman Istana Negara menyerupai showroom mobil. Puluhan  Toyota Camry hitam, mobil dinas menteri saat itu (sekarang Toyota  Crown), berjajar rapi. Rupanya, ada satu mobil yang berbeda mereknya.  Mobil berpelat nomor RI 13 itu bermerek Lexus. Itu adalah kendaraan  Menko Kesra kala itu, Aburizal Bakrie.
 Mendengar  cerita Wisnu, kita sebagai bangsa Indonesia sepatutnya bersedih karena  mental-mental yang diistilahkan dengan bapak bangsa ini tidak dapat  mengayomi rakyat kecil. Jabatan bukan lagi dipahami sebagai pelayan  rakyat, bahkan sekarang ini para pejabat cenderung minta dilayani oleh  rakyat.
 Kisah Sepatu Bung Hatta
 Pada  faktanya, mental pejabat-pejabat itu bukanlah warisan mental pejabat  bangsa dari masa ke masa. Kita  di awal kemerdekaan, pernah mempunyai   pejabat-pejabat yang pernah berbakti kepada rakyatnya. Mereka adalah  para pejabat sebenarnya yang memposisikan diri sebagai pelayan rakyat.  Salah satu di antara mereka adalah Bung Hatta, Bapak Proklamator dan  Wakil Presiden pertama Republik Indonesia.
 Ada  kisah terkait Bung Hatta yang benar-benar menyayat hati. Terlebih kisah  itu dibaca dan didengar saat banyak para pejabat yang hanya mementingkan  diri sendiri tanpa mempedulikan kepentingan rakyat.  Kisah itu belum  lama ini kembali dipublikasikan di milis jurnalis yang banyak mendapat  tanggapan dari wartawan-wartawan anggota milis itu.
 Pada  tahun 1950-an, Bally adalah sebuah merek sepatu yang bermutu tinggi dan  tidak murah. Bung Hatta, Wakil Presiden pertama RI, berminat pada sepatu  itu. Ia kemudian menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat  penjualnya, lalu berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman  tersebut.
 Namun,  uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi karena selalu terambil  untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu kerabat dan handai  taulan yang datang untuk meminta pertolongan. Hingga akhir hayatnya,  sepatu Bally idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya  tak pernah mencukupi.
 Yang  sangat mengharukan dari cerita ini, guntingan iklan sepatu Bally itu  hingga Bung Hatta wafat masih tersimpan dan menjadi saksi keinginan  sederhana dari seorang Hatta. Padahal, jika ingin memanfaatkan posisinya  waktu itu, sangatlah mudah bagi beliau untuk memperoleh sepatu Bally.  Misalnya, dengan meminta tolong para duta besar atau pengusaha yang  menjadi kenalan Bung Hatta.
 Namun,  di sinilah letak keistimewaan Bung Hatta. Ia tidak mau meminta sesuatu  untuk kepentingan sendiri dari orang lain. Bung Hatta memilih jalan  sukar dan lama, yang ternyata gagal karena ia lebih mendahulukan orang  lain daripada kepentingannya sendiri.
 Pendeknya,  itulah keteladanan Bung Hatta, apalagi di tengah carut-marut zaman ini.  Bung Hatta meninggalkan teladan besar, yaitu sikap mendahulukan orang  lain, sikap menahan diri dari meminta hibah, bersahaja, dan membatasi  konsumsi pada kemampuan yang ada. Kalau belum mampu, harus berdisiplin  dengan tidak berutang atau bergantung pada orang lain.
 Seandainya  bangsa Indonesia dapat meneladani karakter mulia proklamator  kemerdekaan ini, seandainya para pemimpin tidak maling, tidak mungkin  bangsa dengan sumber alam yang melimpah ini menjadi bangsa terbelakang,  melarat, dan nista karena tradisi berutang dan meminta sedekah dari  orang asing.
 Bung Hatta dan Rahasia Negara
 Kesederhanaan  keluarga Bung Hatta serta sangat kokohnya mantan wakil presiden itu   dalam berpegang pada prinsip mungkin dapat disimak dari penuturan  Meutia, putri Bung Hatta mengenai kisah sebuah mesin jahit. Sewaktu  ayahnya masih menjadi orang nomor dua di republik ini, ternyata untuk  membeli sebuah mesin jahit pun tidak bisa dilakukan begitu saja.
 Menurut  penjelasan antropolog dari Universitas Indonesia tersebut, ibunya  -Rahmi Hatta- harus menabung sedikit demi sedikit dengan cara  menyisihkan sebagian dari penghasilan yang diberikan Bung Hatta. Namun  rencana membeli terpaksa ditunda, karena tiba-tiba saja pemerintah waktu  itu mengeluarkan kebijakan sanering (pemotongan nilai uang) dari Rp 100  menjadi Rp 1. Akibatnya, nilai tabungan yang sudah dikumpulkan Rahmi  menurun dan makin tidak cukup untuk membeli mesin jahit.
 "Karena  ikut terkena dampak adanya keputusan sanering tersebut, Ibu kemudian  bertanya pada Ayah kok tidak segera memberi tahu akan ada sanering.  Dengan kalem Ayah menjawab, itu rahasia negara jadi tidak boleh  diberitahukan, sekalipun kepada keluarga sendiri" kata istri ekonom Prof  Dr Sri-Edi Swasono itu.
 Ketika  Bung Hatta pulang dari kantor, Nyonya Rahmi Hatta, istri Bung Hatta,  mengeluh, "Aduh, Ayah ?! Mengapa tidak bilang terlebih dahulu, bahwa  akan diadakan pemotongan uang ? Yaaa, uang tabungan kita tidak ada  gunanya lagi! Untuk membeli mesin jahit sudah tidak bisa lagi, tidak ada  harganya lagi.?"
 Keluhan  wanita mungkin mempunyai alasan tersendiri. Tetapi seorang pejabat  negara seperti Bung Hatta menjawab, "Yuke, seandainya Kak Hatta  mengatakan terlebih dahulu kepadamu, nanti pasti hal itu akan  disampaikan kepada ibumu. Lalu kalian berdua akan mempersiapkan diri,  dan mungkin akan memberi tahu kawan-kawan dekat lainnya. Itu tidak  baik!"
 Bung  Hatta kepada istrinya menjelaskan, "Kepentingan negara tidak ada  sangkut-pautnya dengan usaha memupuk kepentingan keluarga. Rahasia  negara adalah tetap rahasia. Sunggguhpun saya bisa percaya kepadamu,  tetapi rahasia ini tidak patut dibocorkan kepada siapapun. Biarlah kita  rugi sedikit, demi kepentingan seluruh negara. Kita coba menabung lagi,  ya?"
 Setelah  penjelasan Bung Hatta itu, Nyonya Rahmi Hatta yang saat itu menjadi  istri nomor dua di Indonesia, sepenuhnya dapat memahami prinsip  suaminya. Berkat pengalaman hidup bersama bertahun-tahun, Rahmi Hatta  mengakui keyakinannya  terhadap prinsip Bung Hatta makin besar pula.  (AR/IRIB)
 | 
0 comments:
Posting Komentar