Laman

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Tampilkan postingan dengan label Public figure. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Public figure. Tampilkan semua postingan

Selasa, 04 Januari 2011

Kisah hidup Moh. hatta


Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.


Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.

Masa Studi di Negeri Belanda
Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).

Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik.

Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif.

Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa.

PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi.

Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional.

Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu.

Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).

Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.

Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.

Kembali ke Tanah Air
Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya.

Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno" (30 Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933).

Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.

Masa Pembuangan
Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.

Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, "Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).

Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.

Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang
Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.

Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944.

Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."

Proklamasi
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa.

Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti.

Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh.
Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.

Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.

Periode Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda.

Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.

Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.

Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.

Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.

Periode Tahun 1950-1956
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).

Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.

Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”.

Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.

Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.

Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus.

Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.

Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.
Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.

Berikut Biodata dari Mohammad Hatta

Nama : Dr. Mohammad Hatta (Bung Hatta)

Lahir : Bukittinggi, 12 Agustus 1902

Wafat : Jakarta, 14 Maret 1980

Istri : (Alm.) Rahmi Rachim

Anak :

* Meutia Farida
* Gemala
* Halida Nuriah

Gelar Pahlawan : Pahlawan Proklamator RI tahun 1986

Pendidikan :

* Europese Largere School (ELS) di Bukittinggi (1916)
* Meer Uirgebreid Lagere School (MULO) di Padang (1919)
* Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang), Jakarta (1921)
* Gelar Drs dari Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda (1932)

Karir :

* Bendahara Jong Sumatranen Bond, Padang (1916-1919)
* Bendahara Jong Sumatranen Bond, Jakarta (1920-1921)
* Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda (1925-1930)
* Wakil delegasi Indonesia dalam gerakan Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, Berlin (1927-1931)
* Ketua Panitia (PNI Baru) Pendidikan Nasional Indonesia (1934-1935)
* Kepala Kantor Penasihat pada pemerintah Bala Tentara Jepang (April 1942)
* Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (Mei 1945)
* Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (7 Agustus 1945)
* Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 1945)
* Wakil Presiden Republik Indonesia pertama (18 Agustus 1945)
* Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (Januari 1948 - Desember 1949)
* Ketua Delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dan menerima penyerahan kedaulatan dari Ratu Juliana (1949)
* Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Kabinet Republik Indonesia Serikat (Desember 1949 - Agustus 1950)
* Dosen di Sesko Angkatan Darat, Bandung (1951-1961)
* Dosen di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1954-1959)
* Penasihat Presiden dan Penasihat Komisi IV tentang masalah korupsi (1969)
* Ketua Panitia Lima yang bertugas memberikan perumusan penafsiran mengenai Pancasila (1975)

Senin, 22 November 2010

Kh. Abdurrahman wahid

Latar Belakang Keluarga
Abdurrahman “Addakhil”, demikian nama lengkapnya. Secara leksikal, “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”, sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas”.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan “darah biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.
Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya.
Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.
Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari perhatianya.
Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.
Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.
Pengalaman Pendidikan
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur’an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur’an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.
Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis (mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa Gus Dur telah mampu menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan. Karenanya wajar jika pada masa kemudian tulisan-tulisan Gus Dur menghiasai berbagai media massa.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma’sum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.
Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris.
Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul ‘The Story of Civilazation’. Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku karya Lenin ‘What is To Be Done’ . Pada saat yang sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gus Dur.
Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara.
Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo.
Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.
Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasioonalis yang dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkkan pendapat mendapat perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Bagdad samapi tahun 1970. Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada di Universitas.
Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya. Kodisi politik yang terjadi di Irak, ikut mempengaruhi perkembangan pemikiran politik Gus Dur pada saat itu. Kekagumannya pada kekuatan nasionalisme Arab, khususnya kepada Saddam Husain sebagai salah satu tokohnya, menjadi luntur ketika syekh yang dikenalnya, Azis Badri tewas terbunuh.
Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin dengan baik di samping bahasa Jerman-tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian-lkajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya ia kembali ke Indoneisa setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur berakhir pada tahun 1971, ketika ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai perjalanan awal kariernya.
Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut. Memang dalam kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik.
Perjalanan Karir
Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri. Sehingga tidak heran jika tulisan-tulisannya jarang menggunakan foot note.
Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES.
Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap ‘menyimpang’-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.
Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-’aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid.
Catatan perjalanan karier Gus Dur yang patut dituangkan dalam pembahasan ini adalah menjadi ketua Forum Demokrasi untuk masa bakti 1991-1999, dengan sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai kalangan, khususnya kalangan nasionalis dan non muslim. Anehnya lagi, Gus Dur menolak masuk dalam organisasi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Tidak hanya menolak bahkan menuduh organisai kaum ‘elit Islam’ tersebut dengan organisasi sektarian.
Dari paparan tersebut di atas memberikan gambaran betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai moderrnis dan sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur yang santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai denga budaya Barat yang terbuka, modern dan liberal. Demikian juga persentuhannya dengan para pemikir, mulai dari yang konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan radikal semua dialami.
Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal, dan struktural. Sementara pengembaraannya ke Timur Tengah telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann Agama, dari yang konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal. Dalam bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh para pemikir Barat dengan filsafat humanismenya. Secara rasa maupun praktek prilaku yang humanis, pengaruh para kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai andil besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah dari Tambak Beras, KH. Ali Ma’shum dari Krapyak dan Kyai Chudhori dari Tegalrejo telah membuat pribadi Gus Dur menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan-sentuhan kemanusiaan.
Dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis, tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua, dunia Timur yang terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasioal dan sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan membetuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Sampai sekarang masing-masing melakukan dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan suliit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri.
Penghargaan
• Tokoh 1990, Majalah Editor, tahun 1990
• Ramon Magsaysay Award for Community Leadership, Ramon Magsaysay Award Foundation, Philipina, tahun 1991
• Islamic Missionary Award from the Government of Egypt, tahun 1991
• Penghargaan Bina Ekatama, PKBI, tahun 1994
• Man Of The Year 1998, Majalah berita independent (REM), tahun 1998
• Honorary Degree in Public Administration and Policy Issues from the University of Twente, tahun 2000
• Gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, tahun 2000
• Doctor Honoris Causa dalam bidang Philosophy In Law dari Universitas Thammasat Thaprachan Bangkok, Thailand, Mei 2000
• Doctor Honoris Causa dari Universitas Paris I (Panthéon-Sorbonne) pada bidang ilmu hukum dan politik, ilmu ekonomi dan manajemen, dan ilmu humaniora, tahun 2000
• Penghargaan Kepemimpinan Global (The Global Leadership Award) dari Columbia University, September 2000
• Doctor Honoris Causa dari Asian Institute of Technology, Thailand, tahun 2000
• Ambassador for Peace, salah satu badan PBB, tahun 2001
• Doctor Honoris Causa dari Universitas Sokka, Jepang, tahun 2002
• Doctor Honoris Causa bidang hukum dari Konkuk University, Seoul Korea Selatan, 21 Maret 2003.
Sumber: http://forum.nu.or.id/viewtopic.php?f=4&t=892&sid=735255e9179b4378c757ed4301a6635b
.
.
Nama:
Abdurrahman Wahid
Lahir:
Denanyar, Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940.
Orang Tua:
Wahid Hasyim (ayah), Solechah (ibu).
Istri :
Sinta Nuriyah
Anak-anak :
Alisa Qotrunada Zannuba Arifah Anisa Hayatunufus Inayah Wulandari
Pendidikan :
• Pesantren Tambak Beras, Jombang (1959-1963)
• Departemen Studi Islam dan Arab Tingkat Tinggi, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1964-1966)
• Fakultas Surat-surat Universitas Bagdad (1966-1970)
Karir
• Pengajar Pesantren Pengajar dan Dekan Universitas Hasyim Ashari Fakultas Ushuludin (sebuah cabang teologi menyangkut hukum dan filosofi)
• Ketua Balai Seni Jakarta (1983-1985)
• Penemu Pesantren Ciganjur (1984-sekarang)
• Ketua Umum Nahdatul Ulama (1984-1999)
• Ketua Forum Demokrasi (1990)
• Ketua Konferensi Agama dan Perdamaian Sedunia (1994)
• Anggota MPR (1999)
• Presiden Republik Indonesia (20 Oktober 1999-24 Juli 2001)
Penghargaan
• Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993)
• Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991)
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/99134/Biografi_Singkat_Gus_Dur

Kamis, 11 November 2010

Imam Sajjad, Guru besar Keutamaan



Kemuliaan bulan Sya'ban turut dihiasi dengan kelahiran manusia-manusia agung dalam sejarah Islam. Hari kelima bulan Sya'ban bertepatan dengan hari kelahiran salah satu keluarga suci Rasul Saw yaitu Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad as. Saat ini, kita merayakan dan mengenang figur-figur agung ini karena perilaku dan cara hidup mereka merupakan petunjuk menuju jalan kebahagiaan dan kesuksesan. Meski mempelajari kembali sejarah kehidupan mereka secara singkat, namun dapat menyegarkan jiwa kita dan mengantarkan manusia pada dunia keindahan.

Imam Sajjad as dilahirkan pada tanggal 5 Sya'ban tahun 38 Hijriah di kota Madinah. Beliau as selama hidupnya mempertahankan pelita petunjuk agama Islam di masa yang suram dan penuh dengan fitnah, sekaligus meneruskan revolusi agung ayahnya Imam Husein as. Imam Sajjad as menyandang sifat-sifat mulia dan keutamaan luhur yang diwariskan dari ayahnya. Peristiwa Karbala terjadi saat Imam Sajjad as belum berumur 23 tahun. Saat itu, beliau tidak mampu turun ke medan perang karena berada dalam kondisi sakit.

Sejarah menunjukkan bahwa peristiwa itu merupakan kehendak Tuhan agar Imam Sajjad as tetap hidup untuk meneruskan pengibaran bendera petunjuk umat Islam setelah ayahnya, Imam Husein as. Masa kehidupan Imam Sajjad as dibarengi dengan kondisi yang sangat sulit dan rumit bagi Ahlul Bait Rasulullah. Pada masa genting itu, para khalifah Dinasti Bani Umaiyah berupaya menjatuhkan kedudukan dan martabat Ahlul Bait as di mata masyarakat. Keadaan ini sangat menyusahkan Ahlul Bait Nabi as termasuk Imam Sajjad as.

Dalam kondisi ini, Imam Sajjad dituntut mengambil langkah yang bijak dan arif. Imam Sajjad as selain memberantas propaganda miring para khalifah Bani Umaiyah dan mengikis pengkaburan realita di tengah masyarakat, juga menyebarluaskan dan mengokohkan pemikiran-pemikiran Islam. Imam Sajjad as di masa penawanan setelah peristiwa Karbala, selalu menekankan perang melawan kezaliman, penindasan, dan ketidakadilan. Dengan metode cakap, Imam Sajjad as mampu mengabadikan peristiwa kebangkitan Imam Husein as di tengah masyarakat. Program Imam Sajjad as kala itu adalah berupaya melestarikan peristiwa Karbala dan mengokohkan nilai-nilai kebangkitan Imam Husein as. Selain itu, beliau juga memaparkan pengetahuan agama Islam serta memerangi bid'ah dan penyimpangan.

Sajjad berartikan orang yang banyak bersujud. Ini merupakan salah satu gelar Sang Imam. Dalam masalah ibadah, Imam Sajjad as sangat menonjol. Detik-detik kehidupan beliau as yang paling indah adalah kesendirian bersama Sang Pencipta dan sibuk bermunajat dengan Dzat Yang Maha Agung. Seorang Pesuluk dan Arif terkenal, Hasan Basri mengatakan: "Pada suatu hari, aku sibuk berdoa dekat Ka'bah. Saat itu, aku menyaksikan Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad as tengah larut dalam doa dan dialog dengan Sang Pencipta. Beliau as bermunajat dengan Tuhan dengan kata-katanya yang indah. Ucapan Imam Sajjad begitu menyejukkan hati hingga aku tertarik kepadanya."

Dikisahkan pula, suatu hari salah seorang khalifah Bani Umaiyah, Hisyam ibn Abdul Malik datang ke Mekkah dengan tujuan melakukan ibadah dekat Ka'bah. Karena keramaian para jamaah, Hisyam tidak berhasil menyentuh Hajar Aswad. Akhirnya ia duduk di atas singgasana di sebuah sudut Masjidil Haram. Pada saat itu, Imam Sajjad as memasuki Masjidil Haram dan memulai tawaf. Saat beliau as sampai di hadapan Hajar Aswad, para jamaah yang melihat wajah purnama Sang Imam as, langsung membuka jalan sehingga beliau as dengan mudah mendekati Hajar Aswad.

Salah seorang warga Syam (Suriah) yang bersama rombongan Hisyam bin Abdul Malik, bertanya: "Siapakah dia hingga mendapat penghormatan warga sedemikian rupa? Hisyam terpaksa berbohong dan mengaku tidak mengenalnya karena khawatir masyarakat mengetahui sosok Imam Sajjad as. Pada saat itu, Penyair Arab, Farazdaq bangkit dan berkata: "Saya mengenal beliau as." Kemudian Farazdaq memperkenalkan Imam Sajjad as lewat syairnya yang indah. Ia berkata: "Ia adalah sosok yang jejak langkahnya dikenal oleh kerikil-kerikil kota Makkah. Mata juga menunduk karena kewibawaanya. Ia sangat lembut dan penuh kasih sayang. Ia dihiasi dua sifat yaitu kesabaran dan keagungan. Ia tidak pernah mengingkari janji. Keberadaannya membawa keberkahan bagi semua. Jika semua orang takwa bertaqwa dihitung, maka ia adalah pemimpin mereka. Jika orang-orang bertanya siapa manusia terbaik di atas muka bumi, mereka akan menunjuknya. Jika engkau tidak mengenalnya, aku akan berkata bahwa ia adalah putra Fatimah Az-Zahra as dan cucu Rasulullah Saw."

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, doa adalah media penghubung antara makhluk dengan penciptanya dan agama Islam sangat menganjurkan umatnya berdoa. Doa selain memiliki pengaruh spiritual luar biasa bagi manusia, juga dapat memberi pengaruh kepada seluruh dimensi keberadaan manusia mulai dari perilaku personal hingga sosial dan politik. Kontak dengan Allah Swt akan menjaga manusia dari gangguan dan kerusakan jiwa.

Salah satu strategi Imam Sajjad as adalah mentransfer pengetahuan agama lewat budaya doa dan munajat. Beliau as telah memaparkan sebagian besar maksud dan kehendaknya lewat bait-bait doa dan munajat yang menggugah hati. Kumpulan doa-doa beliau disatukan dalam kitab "Shahifah Sajjadiyah" yang merupakan harta karun pengetahuan dan hakikat agama. Kitab tersebut adalah kumpulan samudera pengetahuan Islam di bidang tauhid, akhlak, dan pendidikan yang telah mengundang perhatian seluruh ulama.

Salah satu dimensi gemilang kehidupan Imam Sajjad as adalah kegiatan sosial beliau as. Kendati memiliki kedudukan yang tinggi, tapi Imam Sajjad as selalu menekankan perbuatan membantu kepada masyarakat. Setiap malam, orang-orang miskin yang tidak bisa tidur karena kelaparan selalu menunggu uluran tangan. Ketika malam gelap gulita, Imam Sajjad as bangkit dan memasukkan makanan ke dalam karung, kemudian secara diam-diam meletakkannya di depan pintu rumah orang-orang miskin.

Salah satu tokoh terkenal di masa Imam as, Zuhri mengatakan: "Pada suatu malam yang dingin dan hujan, aku melihat Imam Sajjad as di kegelapan malam sambil membawa karung. Aku berkata: "Wahai putra Rasul Saw! Apa yang sedang engkau bawa? Beliau as menjawab: "Aku ingin bepergian dan karung ini adalah makanan buat bekal di jalan." Aku berkata: "Budakku ada di sini dan ia dapat membantumu." Imam as menjawab: "Tidak, aku akan membawanya sendiri."

Zuhri berkata: "Selang beberapa hari setelah peristiwa itu, Imam as tidak pergi kemana-mana. Kemudian aku melihat Imam as dan berkata kepadanya: "Apakah engkau tidak jadi bepergian?" Imam as menjawab: "Wahai Zuhri! maksud bepergian pada waktu itu bukan yang engkau pahami, tapi maksudku adalah perjalanan akhirat. Bersiaplah untuk perjalanan ini! Persiapan perjalanan ini adalah menjauhi dosa dan melakukan perbuatan baik." Zuhri akhirnya memahami maksud Imam as dan karung yang dibawa malam itu berisi makanan yang akan dibagikan untuk orang-orang miskin.

Jiwa manusia sebagaimana raganya juga membutuhkan makanan. Ruh untuk mencapai jenjang spiritual membutuhkan makanan berupa ilmu, iman, dan makrifat. Salah satu kebutuhan ruh manusia adalah berdoa dan menjalin hubungan permanen dengan Sang Pencipta. Imam Sajjad as dalam sebuah doa yang indah menyebut zikir dan mengingat Allah Swt sebagai penyebab ketenangan dan kebugaran jiwa. Imam as menyeru kepada Tuhan dengan berkata: "Wahai Tuhanku, hati dan relungku hidup dengan mengingat-Mu dan api kegelisahan hanya akan padam dengan bermunajat kepada-Mu.

Tentunya, hati yang menjadi persinggahan kasih sayang Tuhan, memiliki kemurnian dan cahaya tersendiri, dan pemiliknya akan terjaga dari kerusakan jiwa dan mental. Pada bagian lain doanya, Imam Sajjad as berkata: "Wahai Tuhanku, sampaikanlah shalawat dan salam kepada junjungan-Mu Nabi Muhammad Saw dan keluarganya dan jadikanlah keselamatan hati kami dalam mengingat keagungan-Mu." Dalam seluruh munajat dan doa Imam Sajjad as, pengharapan kepada Tuhan merupakan poin dominan yang patut direnungkan dan dicermati.

Pada dasarnya, Imam as mentransfer ajaran irfan ini secara tersirat dan halus.
Allah Swt tidak akan pernah meninggalkan orang-orang yang menyerahkan hatinya kepada-Nya dan hidup sesuai dengan keridhaan-Nya. Dalam penggalan doanya, Imam Sajjad as berkata: "Wahai Tuhanku, aku menyerumu sebelum menyeru selain-Mu, aku tidak menemukan selain-Mu dalam mengabulkan kebutuhanku, Dalam doaku, aku tidak akan menyertakan selain-Mu. Seruanku hanya kepada-Mu.

Senin, 08 November 2010

The story of imam Jawad as

Imam Jawad Sang Dermawan Ahlul Bait
Imam Jawad Sang Dermawan Ahlul Bait
Imam Mohammad bin Ali dalam usianya yang relatif singkat meninggalkan ilmu, hikmah dan makrifat yang tinggi bagi umat Islam. Beliau dengan tekun menyebarkan ajaran suci Islam dan ilmu-ilmu Ahlul Bait serta mendidik murid-murid yang kemudian tersebar ke seluruh penjuru dunia. Karena sifatnya yang dermawan maka beliau dikenal dengan julukan al-Jawad artinya sangat pemurah dan dermawan. Kasih sayang beliau bak angin sepoi-sepoi yang menyegarkan jiwa-jiwa letih. Sifat dermawan Imam Jawad menggembirakan mereka yang membutuhkan. Imam Jawad putra Imam Ali bin Musa ar-Ridha lahir di kota suci Madinah tahun 195 Hijriah. Imam Ridha saat kelahiran putra tercintanya berkata,"Saya telah memiliki seorang putra seperti Nabi Musa sang pemecah lautan keilmuan dan Isa yang memiliki ibu yang suci."
Setelah sang ayah mereguk cawan syahadah, Imam Jawad menggantikan posisi Imam Ridha as dan memegang tampuk Imamah selama 17 tahun. Dengan tekun dan tak kenal lelah, beliau menyebarkan ajaran murni Islam di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan singkat Imam Jawad berbarengan dengan dua khalifah Bani Abbasiyyah, Ma'mun dan Mu'tasim. Saat itu, kota Madinah merupakan pusat keilmuan Islam. Baik saat berada di Madinah maupun ketika menunaikan ibadah haji, Imam Jawad giat menyebarkan ajaran Islam.
Selain menyebarkan ajaran Islam, Imam Jawad juga aktif terjun ke dunia politik, sosial serta mengkritik kinerja pemerintah. Sikap Imam Jawad ini disebabkan beliau menyaksikan pemerintahan yang fasid dan rusak. Pemerintah yang berkuasa saat itu telah melupakan sunah dan tuntunan Rasulullah. Di sisi lain, Imam menyaksikan maraknya kemiskinan dan ketidakadilan membuat masyarakat kian jauh dari ajaran Islam. Kewibawaan dan popularitas Imam Jawad di tengah masyarakat membuat Ma'mun takut, oleh karena itu ia menempatkan Imam di pusat pemerintahannya di Baghdad, Irak. Hal ini dilakukan Ma'mun untuk lebih leluasa mengawasi gerak-gerik Imam Jawad, namun tak lama kemudian Imam kembali ke Madinah.
Kamaluddin Syafii, salah satu ulama Sunni terkait Imam Jawad mengatakan, Imam Jawad as memiliki kedudukan yang tinggi. Namanya sering diperbincangkan orang-orang. Sikap lapang dada dan pandangan luas serta retorika manis beliau menarik simpati semua orang. Setiap orang yang bertemu dengannya tanpa disadari pasti memuji beliau. Mereka pun akan mendapat berkah dari keluasan ilmu beliau.
Di usianya yang singkat, Imam Jawad adalah sosok terpandai di zamannya. Masyarakat awam, khususnya pecinta ilmu saling berlomba menimba pengetahuan dari beliau. Ketika menjelaskan urgensitas ilmu beliau mengatakan,"Tuntutlah ilmu karena pengetahuan sangat penting bagi setiap orang. Berdiskusi soal ilmu dan menganalisanya adalah hal positif. Ilmu mempererat hubungan sesama teman dan saudara serta tanda kemurahan hati dan sifat ksatria. Ilmu adalah oleh-oleh setiap majlis kelimuan dan kawan bagi manusia ketika bepergian atau sendiri."

Mohammad bin Masud Ayashi, mufassir dan ulama mengatakan," Suatu hari di era pemerintahan Mu'tasim khalifah bani Abbas, tentara berhasil menangkap pencuri dan perampok. Penjahat ini menganggu perjalanan para musafir dan rombongan haji. Pejabat Mu'tasim bertanya kepada khalifah hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada para penjahat. Mu'tasim langsung menggelar pertemuan untuk membahas hal ini serta mengundang para ulama. Khalifah juga meminta Imam Jawad hadir dalam pertemuan ini. Mu'tasim mengira Imam Jawad akan menjadi bahan tertawaan para ulama mengingat usia beliau yang masih muda. Mu'tasim juga berniat mempermalukan Imam Jawad dan meragukan kelimuan beliau. Imam Jawad hadir ke pertemuan itu dan para ulama dengan bersandar pada ayat al-Qur'an mengeluarkan keputusan hukuman mati bagi para pencuri."

Imam Jawad dalam pertemuan tersebut lebih banyak diam, namun ketika menyaksikan kesalahan para ulama dalam memberikan keputusan beliau langsung berkata," Kalian salah dalam berargumentasi. Semua dimensi harus kalian perhatikan." Saat itulah, Imam Jawad menjelaskan ayat tersebut secara ilmiah dan dengan sederhana. Selanjutnya Imam membahas berbagai bentuk kejahatan dan hukuman bagi setiap kejahatan dijelaskan secara detail. Pembicaraan Imam yang rasional ini diterima oleh seluruh hadirin. Mu'tasim setelah menyaksikan hadirin menerima pendapat Imam terpaksa menerima ucapan beliau. Di sinilah ketinggian ilmu Ahlul Bait menjadi jelas bagi setiap orang. Dengan demikian Imam Jawad berhasil mencegah hukum yang tidak adil.
Imam Jawad selama masa keimamahannya menghadapi berbagai kesulitan, khususnya di saat Mu'tasim menjabat khalifah. Di era kepemimpinan Mu'tasim inilah Imam terpaksa meninggalkan Madinah dan tinggal di Baghdad. Untuk berhubungan dengan pengikut Syiah, Imam membentuk perwakilan-perwakilan di seluruh wilayah Bani Abbas. Beliau mengizinkan pengikutnya untuk menjabat kekuasaan di pemerintahan Bani Abbasiah dengan tujuan membantu pengikut Syiah lainnya. Salah satunya adalah ketua pengadilan kota Kufah.
Langkah Imam Jawad membentuk kekuatan politik ini sepenuhnya rahasia. Beliau bahkan terkadang tidak membeberkan perincian strateginya kepada keluarga atau sahabat terdekat. Contohnya, suatu hari Imam menulis surat kepada Ibrahim bin Mohammad dan mengatakan, selama Yahya bin Imran masih hidup, jangan kamu buka surat ini. Yahya bin Imran adalah wakil Imam Jawad di salah satu daerah. Setelah beberapa tahun, ketika Yahya bin Imran wafat, Ibrahim membuka surat tersebut. Dalam surat itu, Imam menulis, tanggung jawab Yahya selanjutnya ada di pundak kamu. Hal ini menunjukkan strategi jangka panjang Imam saat itu.
Selama hidupnya yang singkat, Imam Jawad tetap menjaga interaksinya dengan warga meski dalam kondisi yang paling sulit sekalipun. Memberi bantuan kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkan adalah salah satu interaksi Imam dengan warga. Sikap Imam ini menunjukkan kedermawanan serta keagungan Ahlul Bait as. Kedermawanan Imam ini telah dipupuk semenjak kecil oleh ayah beliau. Ketika Imam Ridha as berada di Marv, beliau menulis surat kepada anaknya, Imam Jawad as yang saat itu masih kecil. Beliau berkata, Saya bersumpah, keluarlah kamu dari pintu besar dan bawalah uang untuk membantu fakir miskin. Imam Jawad ketika menjawab surat ayahnya berkata, harta dan nyawa adalah pemberian Allah serta amanat di pundak kita. Jika saya mendapat anugerah nikmat tersebut maka saya berbahagia dan jika orang lain dapat menikmatinya juga maka kita akan mendapat pahala.
Suatu hari, seorang laki-laki menghadap Imam Jawad dalam kondisi gembira. Imam menanyakan sebab kegembiraannya. Ia berkata, saya hari ini mampu memenuhi kebutuhan sepuluh orang, oleh karena itu saya bergembira. Imam Jawad berkata, kamu pantas untuk bergembira hari ini dengan syarat kebaikanmu jangan sampai kamu rusak. Allah swt dalam Surat al-Baqarah ayat 264 berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya Karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, Kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (Tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir."
Dua tahun terakhir usia Imam Jawad merupakan saat-saat yang paling sulit, karena strategi Mu'tasim tidak seperti Ma'mun. Mu'tasim secara terang-terangan memusuhi Ahlul Bait. Keagungan dan popularitas Imam Jawad di tengah rakyat membuat Mu'tasim gusar. Khususnya ketika rakyat kian mencintai Imam Jawad. Mu'tasim yang melihat Imam kian popular dan menganggapnya sebagai batu sandungan dalam pemerintahannya yang zalim bertekad menyingkirkan beliau.
Rencana busuk Mu'tasim ini akhirnya dilaksanakan juga pada tahun 220 hijriah. Dengan demikian Imam Jawad mereguk cawan syahadah di usia 25 tahun, usia yang masih sangat muda.
  sumber : IRIB

Jumat, 05 November 2010

Fatimah az-zahra

Soekarno

Kamis, 04 November 2010

Ahmadinejad

Tragedi karbala


web site counter