Laman

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Tampilkan postingan dengan label Tradisi muslim. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tradisi muslim. Tampilkan semua postingan

Selasa, 23 November 2010

Kemeriahan Maulid Hanya di Madura

“Sholatullah Salamulla’Ala Thoha Rosulullah, Sholatullah Salamullah ‘Ala Yasin Habibillah”

Setelah bertahun-tahun lamanya tak menikmati kemeriahan perayaan maulid Nabi Muhammad SAW di kampung tercinta, Alhamdulillah tahun ini bisa menikmati kembali kemeriahan ini. Pembukaan perayaan ini dimulai tanggal 14 Februari 2010 = 1 Rabiul Awal. Di saat para pencinta dunia merayakan hari valentine yang katanya hari kasih sayang, maka bagi sebagian besar masyarakat Madura menyambut bulan maulid ini dengan melakukan acara pembacaan shalawat di masjid-masjid atau surau-surau. Bagi orang Madura bulan maulid ini sudah seperti lebaran, ajang untuk berbagi kepada sesama atas rezeki yang telah Allah karuniakan kepadanya. Ada yang menitipkan sebagian rezekinya ke Masjid atau surau dengan memberikan tumpeng atau makanan lain untuk dibagikan kepada para jemaah yang hadir. Dan bagi yang mampu dapat menyempurnakannya dengan merayakannya di rumah masing-masing untuk bersama-sama mengaajak para tetangga dan kerabat melantunkan shalawat bersama-sama.
Bagi masyarakat Madura, awal bulan maulid dikenal dengan istilah “COCOGAN”, saya juga bingung untuk mengkonversinya ke dalam bahasa Indonesia baik secara harfiah ataupun istilah. Kalau berdasarkan penafsiran pribadi, ini bisa diartikan perayaan  penyambutan/pembukaan maulid atau bisa dikatakan GRAND OPENING-nya yang menandakan bahwa Maulid telah dimulai dan dipersilahkan untuk merayakannya dengan membagikan kelebihan harta/rezeki yang dimiliki dengan bersedekah di Masjid aatau di rumah masing-masing.
Untuk awal ini, biasanya masjid-masjid menerima sedekah berupa makanan atau angpao dari tetangga sekitar dan kemudian dibagikan kepada para hadirin. Untuk makanan biasanya berupa tumpeng yang berisi anake lauk, sayur serta buah. Fase ini, besek tidak terlalu berseliweran, hanya beberapa saja. Sepertinya di bulan ini, bisnis makanan, buah, plastik, tempat makan, kue laku keras karena banyak orang-orang yang membelinya. Sayang saya tidak terlalu bakat di bidang ini.
Buk, saya bungkus 2 ya!
Komposisi tumpeng seperti ini adanya hanya di Madura dan inilah yang senantiasa saya rindu-rindukan. Jika suruh memilih antara yang besek dan tumpeng, maka untuk fase awal ini saya akan memilih tumpeng. Adapun komposisi tumpeng setelah dibungkus berisi : nasi tentunya, sayur berupa urap-urap, ikan teri/asin, telur dadar, tempe goreng/ada juga yang berkuah (gak tau namanya apaan), pisang,……Ajib deh pokoknya. Semuanya dalam kondisi panas, langsung makan di tempat lebih mantap.
Setelah memasuki fase awal, perayaan maulid di masjid dilakukan juga pada malam 12 Rabiul Awal. Pada tanggal 12 Rabiul Awal merupakan hari kelahiran Rasulullah SAW. Untuk perayaan fase 2 ini lebih semarak dan dengan durasi yang lebih lama juga tentunya pembacaan shalawatnya. Jika pada tahap 1 dominansi tumpeng mengalahkan besek, maka pada tahap 2 ini adalah sebaliknya “dominansi besek mengalahkan tumpeng”. Bisa-bisa setiap orang mendapatkan lebih dari  2 besek, apalagi anak-anak kecil bisa mendapatkan 4 besek lebih. Karena demikian banyaknya sedekah dari masyarakat yang terkumpul.
*********
Jika perayaan ini ada yang mengatakan bid’ah atau apalah. Sebenarnya perlu kita telusuri lagi lebih dalam dan jauh, bagaimana..untuk apa serta apa manfaat yang didapat. Ini beberapa hal yang saya dapatkan :
- Dengan peringatan ini, semakin meningkatkan rasa cinta kepada Rasulullah, walaupun dimensi ini kadang terlupakan karena hanyutnya kita kepada kemeriahan, sehingga bukan shalawatnya yang diprioritaskan namun bese yang mana yang saya incar
- Mempererat silaturrahim, karena bisa mengundang tetangga dan kerabat untuk berkumpul dalam satu tempat. Namun kadang bisa memunculkan gap (perbedaan juga), karena kadang-kadang timbul pernyataan komparatif dari para hadirin mengenai hidangan atau paket yang diterima atas undangan tersebut,  apalagi jika yang diberikan atau yang mereka terima kurang atau apalah (khususnya ibu..) maka ada saja yang muncul setelahnya. Jika sudah begini, tidak usah didengarkan “luruskan niat” saja dan biarkan mereka berbicara, semoga diberikan kekuatan untuk mengundang mereka lagi dengan lebih baik di tahun yang akan datang. Kata beberapa kerabat “toh mereka yang ngomongin belum tentu bisa mengundang tetangga”
- Berbagi nikmat dan bersedekah dengan yang lain. Harta yang sesungguhnya adalah yang kita berikan kepada orang lain, maka alangkah sedikitnya harta kita karena apa yang kita berikan kepada orang lain sebenarnya sangatlah sedikit
- Membuka pintu ijabah atas hajat dan do’a. Dengan berkumpulnya orang-orang yang kemudian dibacakan do’a untuk shohibul hajjah insyaAllah akan terbuka jalan keluar untuk sang tuan rumah maupun orang yang hadir
- Semoga mendapatkan insyaAllah Syafaat Rosulullah juga rahmat Allah di hari kelak
- Bisa juga menjadi media dakwah
- Apalagi ya????? silahkan diamati saja sendiri, kalau perlu hadir langsung di acara atau undangannya.
Selamat merayakan maulid Nabi Muhammad SAW, semoga kita senantiasa tergolong dan masuk ke dalam kaumnya. Meneladaninya akhlaqnya dan bershalawat atas “Allahumma Sholli ‘Ala Sayyidina Muhammad Waa ‘Ala ‘Aliy Sayyidina Muhammad”…”Allahumma Sholli Waa Sallim ‘Alaih”.

Asyura dan Karakter Islam Nusantara


Berikut ini sebuah artikel yang ditulis oleh intelektual muda NU, Ahmad Baso, tentang Asyura.
Salah satu kekuatan tradisi Syi’ah maupun Sunni di Nusantara adalah kemampuannya membentuk Islam berkarakter moderat, toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Seperti ditunjukkan pada kemunculan kesultanan Islam pertama di Indonesia, Pasai, yang berkultur Syi’ah, hingga kehadiran Walisongo di Jawa. Tidak berlebihan kalau Abdurrahman Wahid dalam satu tulisannya di Warta NU (1995) menyebut penyebaran Islam di Nusantara dimungkinkan karena Islam Sunni di Jawa lebih berkarakter “Syi’ah kultural”. Mengapa demikian?
Karena wajah yang seperti itulah yang menjadikan Islam begitu mudah diterima oleh berbagai etnis yang ada di Nusantara. Hal ini terjadi karena ada kesesuaian antara agama baru (Islam) dengan kepercayaan lama mereka. Setidaknya kehadiran Islam tidak mengusik kepercayaan lama, tetapi sebaliknya kepercayaan tersebut diapresiasi dan kemudian diintegrasikan ke dalam doktrin dan budaya Islam. Karena kemampuan berdialog dan melakukan tawar-menawar dengan kebudayaan setempat itulah yang menyebabkan agama Islam secara umum bisa berkembang dengan pesat tanpa menemukan benturan yang berarti dengan kepercayaan, tradisi dan budaya yang ditemui.
Hal inilah yang dilakukan misalnya oleh Syekh Burhanuddin Ulakan yang memperkenalkan tradisi “tabut” (perayaan Asyura) dan “basapa” (berjalan safar) di pesisir barat Sumatera abad 17. Sementara Syekh Jalaluddin al-Aidid memperkenalkan tradisi “maudu lompoa” (Maulid Nabi yang Agung) di daerah Makasar (kini di Cikoang, Takalar) pada abad 17. Perayaan “tabut”, “basapa” dan “maudu lompoa” semuanya menunjukkan karakter Islam Syi’ah. Tradisi ini diperkenalkan sebagai instrumen penyebaran agama Islam di Nusantara. Syekh Burhanuddin Ulakan dikenal sebagai penyebar Islam pertama di daerah Minangkabau dan Bengkulu, sementara Syekh Jalaluddin al-Aidid salah seorang tokoh penyebar Islam di daerah Sulawesi Selatan.
Meski disanggah oleh Hamka dan sejumlah penulis lainnya, pengaruh Syi’ah di daerah pesisir Sumatera seperti di Minangkabau dan Bengkulu cukuplah kuat. Seperti ditunjukkan pada perayaan Hoyak Tabuik (Tabut) atau Hoyak Husain, yang dirayakan untuk mengenang syahidnya Imam Husain, salah seorang cucu Nabi Muhammad SAW. Upacara Hoyak Tabuik atau mengarak usungan (tabut) yang dilambangkan sebagai keranda jenazah Imam Husain yang gugur di Padang Karbala. Perayaan ini dimulai pada hari pertama bulan Muharram hingga hari kesepuluh.
Di Pariaman, Sumatera Barat, pada tanggal 1 Muharram, perayaan dimulai dengan mengambil lumpur dari sungai di tengah malam. Para pengambil lumpur harus berpakaian putih. Lumpur dikumpulkan ke dalam periuk yang ditutup kain putih, kemudian dibawa ke sebuah tempat yang disebut Daraga yang besamya 3 x 3 meter yang juga ditutup kain putih.
Pengambilan lumpur melambangkan pengumpulan bagian-bagian tubuh Imam Husain yang terpotong. Daraga melambangkan makam suci Imam Husain, sedangkan kain putih adalah perlambang kesucian Imam Husain. Pada tangga 15 Muharram mereka menebang batang pisang dengan pedang yang sangat tajam. Batang pisang itu harus tumbang sekali tebas. Penebangan batang pisang ini melambangkan kehebatan putra Imam Husain, Qasim, yang bertempur bersenjatakan pedang di tanah Karbala. Pada tanggal 7 Muharram, persis di tengah hari, panja atau potongan jari-jari Imam Husain yang sudah dibuat sebelumnya dibawa ke jalan-jalan dalam sebuah belanga bersama dengan Daraga.
Biasanya orang menangis penuh kesedihan karena teringat tragedi Karbala yang mengenaskan. Pada hari kesembilan Muharram sorban atau penutup kepala wama putih yang melambangkan serban Imam Husain diarak di jalan-jalan untuk menunjukkan betapa hebatnya Imam Husain dalam membela Islam. Dan pada tanggal 10 Muharram ritual Tabuik mencapai puncaknya. Di pagi hari Tabut yang sudah dipersiapkan sebelumnya, Daraga, Panja dan serban diarak keliling kota dalam suatu pawai besar yang disaksikan oleh ribuan bahkan puluhan ribu penonton yang datang dari berbagai penjuru. Orang-orang pun berkabung dan berteriak Hoyak Tabuik, Hoyak Husain. Sore hari menjelang matahari terbenam saat arak-arakan selesai, semua benda-benda di atas diarak ke laut kemudian dibuang di tengah laut, lalu mereka pulang sambil melantunkan seruan “Ali Bidaya… Ali Bidaya, Ya Ali, Ya Ali, dan Ya Husain”.
Sementara di Bengkulu, perayaan Asyura ini dinamakan “Tabot” dan sering juga dikenal dengan nama “Tabut”. Istilah “Tabot” berasal dari kata Arab (tabut) yang secara harfiah berarti “kotak kayu” atau “peti”. Perayaan ini berlangsung selama sepuluh hari. Pada hari terakhir, pada 10 Muharram, digelar tabot tebuang (tabot terbuang). Seluruh tabot berkumpul di lapangan diarak menuju Padang Jati, dan berakhir di kompleks pemakaman umum Karabela. Tempat ini menjadi lokasi acara ritual tabot tebuang karena di sini dimakamkan Imam Senggolo (sebutan untuk Syekh Burhanuddin Ulakan), perintis upacara tabot di Bengkulu. Kemudian bangunan tabot dibuang ke rawa-rawa yang berdampingan dengan makam, yang menandai berakhirnya segenap rangkaian upacara tabot.
Dalam perayaan tabot ini, adat dan kultur benar-benar memiliki ruh Islam atau bersendi syara’. Dalam kerangka ini, Islamisasi telah berhasil dijalankan dengan merata di hampir seluruh daerah pesisir dan pedalaman Sumatera. Bukan hanya melalui perayaan dan upacara, tapi juga melalui lembaga adat dan pemangku adat. Syekh Burhanuddin wafat pada tahun 1680, dan dimakamkan di Ulakan, Pariaman. Dan ada pula yang menyebutnya di Bengkulu. Peran beliau dilanjutkan oleh putera angkatnya, Syekh Abdurrahman dan Syekh Jalaluddin. Semuanya berperan dalam membentuk karakter Islam Nusantara, yang moderat dan akomodatif terhadap kebudayaan setempat.[Ahmad Baso (LTN-PBNU Jakarta)]

Malam Satu Suro

Tradisi malam satu syura




Banyak orang mengatakan bahwa proses Arabisasi saat ini telah marak terjadi di Indonesia berhubung dengan makin banyaknya organisasi dan partai politik yang mengusung nilai2 Islam dalam kehidupan tata sosial kemasyarakatan saat ini.

Tapi benarkah Arabisasi hanya terjadi saat ini?

Arabisasi atau Islamisasi sebenarnya telah terjadi ratusan tahun yang lalu di Indonesia sekitar abad ke-14. Pertama masuk melalui Kerajaan Samudrai Pasai, Perlak dan Kerajaan Aceh yang kemudian menyebar ke P.Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Maluku bahkan Papua.

Hal ini dapat kita lihat dari adat istiadat beberapa suku di Indonesia, suku Melayu, Padang, Batak, Sunda, Jawa, Makasar, Ambon, Borneo dll akan kita temukan unsure-unsur Arab dan Islam disana.

Dalam budaya Jawa, unsur-unsur Arab atau Islam dapat kita temukan pada Cerita Wayang Mahabrata pada lakon Bima Sakti mencari Tuhannya dan peringatan “Malam satu suro”

Dan kota di Jawa yang paling afhdol membicarakan satu suro adalah kota solo. Setiap kota tentunya memiliki adat istiadat yang berbeda, Di Pulau Jawa khususnya Jawa Tengah, selain kota Yogyakarta , kota Solo lah yang masih sangat erat dan masih memelihara semua tradisi adat Jawa.



Sekaten adalah merupakan salah satu pesta pasar rakyat yang sangat lekat dengan sejarah perkembangan dan penyiaran agama Islam di tanah Jawa , Istilah Sekaten berasal dari bahasa arab yaitu " Syahadatin " yang berarti dua kalimat syahadat, hal ini sarat dengan makna islami pada masa penyebaran agama islam pada masa itu . Pasar rakyat ini hingga sekarang masih menjadi salah satu objek wisata dan pasar budaya yang menjadi salah satu unggulan pariwisata kota Solo .

Pasar malam ini biasanya digelar selama seminggu penuh untuk memperingati hari Maulud Nabi Muhammad SAW yang menjadi kalender kegiatan rutin yang di adakan oleh Kraton Solo setahun sekali berdasarkan penanggalan Jawa. Kegiatan di pasar ini sangat lengkap mulai berbagai jualan makanan khas daerah , baju , berbagai kerajinan tradisional sampai mainan yang modern serta banyak pula sarana hiburan rakyat seperti komidi putar dan yang lainnya. Maka tak heran kalau perayaan sekaten selalu penuh sesak dengan pengunjung.

Selain sekaten, Keraton Solo juga perlu dibanggakan. Banyak nilai bersejarah termasuk adai istiadat tersirat di dalamnya.

KIRAB PUSAKA KRATON

Setiap malam 1 muharam atau terkenal malam satu Suro , maka kraton Solo akan menggelar ritual Jamas dan Kirab Pusaka Kraton, ikut serta juga dalam acara kirab tersebut beberapa ekor kebo bule ( Kerbau ) yang di juluki Kebo Kyai Slamet . Acara kirab pusaka ini berangkat dari kraton Solo tepat pada jam 12 malam dan mengelilingi beberapa jalan protokol di kota Solo dengan di iringi oleh punggawa istana dan para pasukan istana. Upacara ini di gelar untuk menghormati dan sekaligus memperingati Bulan Suro ( Muharam ) .

Kegiatan Kirab ini hingga sekarang selalu menjadi salah satu momentum yang paling meriah di kota Solo , dan selalu menarik minat masyarakat kota Solo pada khususnya untuk melihat dan mengikuti prosesi ini . Banyak juga masyarakat di sekitar kota solo , bahkan dari luar kota dan para turis asing sangat antusias mengikuti acara tradisional tersebut .

Apabila upacara kirab yang di ikutkan di dalamnya Kebo kyai slamet tersebut benar benar sangat di tunggu oleh masyarakat . Acara yang sudah menjadi kegiatan rutin Kraton solo tersebut , selainkan menampilkan mitos dan legenda kebo kyai slamet , juga bermacam macam keris dan tosan aji istan lainnya yang di arak keliling dengan sebuah prosesi upacara spiritual dan kental sekali dengan budaya Jawa .



Senin, 22 November 2010

SYEKH SITI JENAR

                          
Siapakah Syekh Siti Jenar? Meskipun setidaknya Intisari telah menjejaki – yang disebut sebagai – dua kuburan Syekh Siti Jenar, masing-masing di Kemlaten, Cirebon maupun Gedong Ombo, Tuban, agaknya Syekh Siti Jenar tidak bisa dipastikan keberadaan historisnya secara ilmiah dalam kategori positivistik. Keberadaan Syekh Siti Jenar adalah keberadaan sebuah makna, baik dalam bentuk suatu ajaran yang tercatat pada berbagai naskah, maupun makna keberadaan dalam penafsiran politis, sebagai tokoh oposisi terhadap hegemoni kekuasaan rohani para wali. Suatu konstelasi yang sebetulnya juga merupakan tipologi konstelasi politik duniawi, ketika kerajaan-kerajaan Islam di Jawa telah menjadi dominan, tetapi pusat-pusat kekuasaan pra-Islam dengan segenap aliran kepercayaannya, belum sepenuhnya terleburkan – bahkan sampai hari ini.
                                    
Wali yang mencemaskan
Dalam ziarah pustaka ini, gambaran Nancy K. Florida tentang Tiga Guru Jawa (Syekh Siti Jenar, Syekh Malang Sumirang, Ki Ageng Pengging) dalam disertasinya, Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang (1995) akan dikutip sebagai pengantar:
“Di antara ketiga empu tersebut, Syekh Siti Jenarlah yang paling dikenal, dengan ketenarannya sebagai wali pembangkang yang paling utama di Jawa bahkan hingga saat ini. Berbagai versi kisahnya, baik lisan maupun tulisan, melimpah. Dialah tokoh yang mewakili penyebarluasan, dan yang disebarluaskannya adalah pengetahuan esoteris eksklusif yang keluar dari kalangan elite politik-spiritual ke dalam budaya khalayak ramai. Atas penyebarluasan inilah maka para wali merasa terpanggil untuk memusnahkan Syekh Siti Jenar. Mereka melihat ancaman politik yang benar-benar nyata dalam dirinya; lantaran sebagai sosok penyebarluasan dan populisme dia dengan sendirinya menentang pemusatan dan penyatuan kekuasaan.
“Dalam benak khalayak ramai, Siti Jenar dikenang sebagai patron wong cilik. Garis besar kisah hidupnya menggarisbawahi keterkaitan organisnya dengan lapis terendah masyarakat. Dalam versi kisahnya yang paling tersebar luas, Siti Jenar diceritakan sebagai seekor cacing tanah yang secara ajaib berubah menjadi manusia. Pengubahan ini terjadi karena sang cacing secara kebetulan menerima pengetahuan esoteris yang mengantarnya menuju Hakikat Sejati. Sekali menjadi manusia, dia yang semula cacing ini kemudian berani untuk membuka tabir Pengetahuan Makrifat ini kepada khalayak ramai. Barangkali anggapan bahwa penyampaian pengetahuan semacam itu akan dapat mengubah martabat “cacing-cacing” yang lain adalah kecemasan elite spiritual-politik di ibu negeri Demak.
“Selain dosanya ‘menyingkap sang Rahasia’ kepada khalayak ramai, Siti Jenar juga dipersalahkan karena menyepelekan syariat, hukum suci Islam. Dan di dalam banyak penuturan kisahnya, dia dituduh sebagai orang yang mengaku dirinya Allah. Bagaimanapun juga, yang paling mencuat dan diberitakan adalah dosanya menyebarluaskan Ilmu Gaib; dan lantaran dosa inilah sang wali diadili dan dijatuhi hukuman mati. Terdapat berbagai versi tentang ‘pengadilan’ dan eksekusinya. Masing-masing versi perlu untuk dipahami dengan latar belakang ingatan kolektif masyarakat tentang kisahnya dan dalam bandingan dengan versi lainnya. Yang terpenting untuk diperhatikan adalah keragaman kisah atas apa yang terjadi dengan jasad sang wali; berkisar dari ekstrem yang satu bahwa jasadnya berubah menjadi bangkai busuk seekor anjing hingga ke ekstrem yang lain (yakni pada versi Babad Jaka Tingkir) bahwa sang wali akhirnya mikraj ke surga.”
Adapun asal nama Kemlaten, kuburan Syekh Siti Jenar di Cirebon, terasalkan dari kisah dalam Babad Cerbon, bahwa ketika para wali membongkar kuburan Siti Jenar setelah dihukum mati, untuk membuktikan kebenaran ajarannya: bahwa jika ia mati di dunia ini artinya hidup abadi di dunia yang sebenarnya -ternyata memang tak menemukan jasad, melainkan sekuntum bunga melati. Seperti juga telah sering ditemukan dalam riwayat wali yang sembilan, istilah “politik dongeng” menegaskan terdapatnya kepentingan ideologis di balik segenap “sejarah” tersebut. Kesadaran tentang perlu diabaikannya keberadaan dongeng-dongeng tersebut sebagai fakta historis, juga tersurat dalam catatan sejarawan Graaf dan Pigeaud dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1974), seperti ketika memberi catatan atas keberadaan Dewan Walisanga:
“Sudah jelas bahwa Musyawarat orang-orang suci menurut cerita legenda ini, yang dihadiri oleh mereka semua, sukar kiranya dapat sungguh-sungguh terjadi. Dugaan ini wajar, karena antara kedua tokoh historis Sunan Ngampel Denta dan Sunan Kudus terdapat jarak waktu beberapa generasi (dari pertengahan abad ke-15 sampai dekade-dekade pertama abad ke-16).”
                                   
Ajaran tentang ada
Lantas, ajaran macam apa sebetulnya, yang dianggap “benar tapi berbahaya”, sehingga penyebarnya begitu patut menerima hukuman mati dalam pandangan Walisanga? Dalam kenyataannya, buku-buku yang memuat dan menyebarkan teks yang disebut sebagai “ajaran” Syekh Siti Jenar ini beredar luas pada masa kini, beberapa di antaranya bahkan berpredikat best seller alias laris manis tanjung kimpul, yang bukan hanya tidak mengundang kecaman apa pun dari para pemeluk teguh syariat, melainkan justru ditulis oleh para ahli agama itu sendiri. Untuk menyebut beberapa, bisa diperiksa dua buku laris Abdul Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa (1999) dan Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar (2001), Muhammad Sholikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat dan Suluk Siti Jenar (2004), Sudirman Tebba, Syaikh Siti Jenar: Pengaruh Tasawuf Al-Hallaj di Jawa (2003), dan yang ditulis dengan sapaan hangat serta indah karya Achmad Chodjim, Syekh Siti Jenar: Makna “Kematian” (2002). Namun untuk mengintip apa yang disebut “ajaran rahasia” tersebut, pustaka yang akan diziarahi masih dari karya ilmiah P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa (1935).
Tidak mungkin memindahkan ulasan panjang lebar dalam disertasi Zoetmulder tersebut, tapi kita mulai saja dengan petikan atas kutipan dari Serat Siti Jenar yang diterbitkan oleh Tan Khoen Swie, Kediri, pada 1922:
Kawula dan gusti sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya saat ini nama kawula-gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku, ketenteraman langgeng dalam Ada sendiri.
Hai Pangeran Bayat, bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera.
Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya, tidak seperti Syeh Siti Jenar. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.
Dalam disertasi filsafat ini Zoetmulder menekankan, bahwa dengan teks semacam ini Syekh Siti Jenar dan murid-muridnya telah ditafsirkan memberi kesan seolah-olah Tuhan itu tidak ada, padahal, “Menurut hemat kami ucapan-ucapan serupa hendaknya ditafsirkan sebagai sebuah polemik serta penolakan terhadap ide mengenai seorang Tuhan yang berpribadi; sebaliknya Siti Jenar mengetengahkan ide mengenai suatu Jiwa Semesta, ia manunggal dengan Hyang Suksma, manunggal dengan hidup yang tunggal, yakni dirinya sendiri.”

                              
Bukan Al-Hallaj, tapi India
Syekh Siti Jenar begitu sering dihubung-hubungkan dengan al-Husain ibnu Mansur al-Hallaj atau singkatnya Al-Hallaj sahaja, sufi Persia abad ke-10, yang sepintas lalu ajarannya mirip dengan Siti Jenar, karena ia memohon dibunuh agar tubuhnya tidak menjadi penghalang penyatuannya kembali dengan Tuhan. Adalah Al-Hallaj yang karena konsep satunya Tuhan dan dunia mengucapkan kalimat, “Akulah Kenyataan Tertinggi,” yang menjadi alasan bagi hukuman matinya pada 922 Masehi di Baghdad. Seperti Syekh Siti Jenar pula, nama Al-Hallaj menjadi monumen keberbedaan dalam penghayatan agama, sehingga bahkan diandaikan bahwa jika secara historis Syekh Siti Jenar tak ada, maka dongengnya adalah personifikasi saja dari ajaran Al-Hallaj, bagi yang mendukung maupun yang menindas ajaran tersebut. Tepatnya persona Syekh Siti Jenar memang dihidupkan untuk dimatikan.
Namun karena penelitiannya tentang segenap pengaruh terhadap sastra suluk Jawa, Zoetmulder berpendapat lain tentang ajaran Syekh Siti Jenar. “Jelaslah betapa besar pengaruh dari ide-ide India. Pengaruh itu tampak juga dari sikap terhadap nilai dan kenyataan dunia, yang dianggap hanya suatu permainan pancaindera, sebuah impian, segalanya hanya bersifat semu dan tak ada sesuatu yang nyata, suatu godaan, sebuah sulapan yang menimbulkan keinginan manusia dan dengan demikian mengurungnya. Singkatnya, di mana-mana kita mengenal kembali pandangan dari India.
“Akhirnya, juga kematian Siti Jenar – menurut logatnya sendiri, masuknya ke dalam kehidupan -seperti dilukiskan dalam versi yang kami bahas di sini, bernafaskan suasana India. Dengan menutup sendiri semua pintu dengan dunia luar ia membiarkan nafas kehidupan keluar dari badannya yang lalu mempersatukan diri dengan Sukma semesta. Dalam segala uraian ini hanya sedikit sekali pengaruh dari dunia Islam, sekalipun kadang-kadang disebut sebuah kutipan dalam bahasa Arab sekadar bahan pendukung. Sebaliknya menonjol sekali, betapa ajaran ini serasi dengan suatu bagian dari Arjunawiwaha yang melukiskan bagaimana Bhatara Indra dalam wujud seorang resi tua menyampaikan ajaran kesempurnaan kepada Arjuna yang sedang bertapa.
“Bila akhirnya tokoh Siti Jenar kita bandingkan dengan apa yang kita ketahui mengenai Al-Hallaj, maka tampak, bahwa keserasian hanya berkaitan dengan beberapa sifat dari kisah itu, tetapi kesamaan dalam hal ajaran jarang kita jumpai.”
Setelah menguraikan konsep ajaran Al-Hallaj yang dirujuknya dari peneliti sufisme terkenal Louis Massignon, hanya satu hal dianggap Zoetmulder agak mirip, yakni tentang permintaan maaf telah mengungkap rahasia ilahi (ifsa-al-asrar) – itu pun menurutnya Siti Jenar tidak minta maaf. Dijelaskannya, “Tidak mengherankan, bahwa dalam ajaran Siti Jenar tak terdapat bekas-bekas ajaran otentik Al-Hallaj.”
Ia pun merumuskan, “Perbedaan pokok antara kedua tokoh itu ialah Al-Hallaj selalu ditampilkan sebagai seorang sufi yang terbenam dalam cinta akan Tuhan, sedangkan dalam diri Siti Jenar sifat tadi hampir tidak tampak. Siti Jenar terutama dikisahkan sebagai seorang yang mandiri, akal bebas yang tidak menghiraukan raja maupun hukum agama; tak ada sesuatu pun yang menghalanginya menarik kesimpulan dari ajarannya. Dengan demikian ia menjadi wali yang paling digemari rakyat dan yang riwayatnya masih hidup di tengah-tengah orang Jawa.”
                                   
Lemah Abang serba pinggiran
Dengan konteks pengaruh India dan bukan Islam da lam ajaran Syekh Siti Jenar, menjadi jelas konteks duniawi yang terpadankan dengannya, seperti teruraikan oleh Graaf dan Pigeaud mengenai kedudukan politis Pengging sebagai kerajaan “kafir” terhadap kekuasaan Demak. Dalam legenda, Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging adalah murid Syekh Siti Jenar yang membangkang dan tidak bersedia tunduk maupun melawan Sultan Demak – yang membuat kedudukannya sulit diatasi meski Sunan Kudus ia izinkan untuk membunuhnya. “Tindakan Sunan Kudus yang sangat terkenal terhadap ‘si bid’ah’ Kebo Kenanga itu sesuai dengan ketegasan terhadap penghujah Allah Syekh Lemah Abang (atau Pangeran Siti Jenar) sendiri. Syekh itu adalah guru ilmu kebatinan empat bersaudara: Yang Dipertuan di Pengging, di Tingkir, di Ngerang, dan di Butuh.” Bahwa Pengging sebelumnya disebut-sebut sebagai kerajaan “kafir” yang masih berdiri setelah Majapahit runtuh, jelas menunjukkan personifikasi Syekh Siti Jenar sebagai representasi perlawanan, terhadap dominasi Demak sebagai representasi hegemoni kekuasaan rohani sekaligus duniawi.
Mungkinkah bisa dipahami sekarang, mengapa banyak wilayah di Jawa bernama Lemah Abang, dan selalu terletak di pinggiran?


web site counter