Syair-Syair Cinta Para sufi seringkali menggunakan metafora pengalaman batin mereka dengan sejumlah syair yang teramat indah, mengingat, syathahat atau kata- kata jadzabiyahnya sulit diuraikan dengan bahasa formal. Di bawah ini sejumlah contoh yang digunakan oleh Abul Qasim al-Qusyairi dalam menjelaskan sejumlah terminologi tasawuf melalui beberapa syair: Waktu Setiap hari ia lewat merengkuh tanganku memberikan sesal dalam hatiku kemudian, berlalu. Seperti penghuni neraka Jika kulit-kulitnya terpanggang kembali pula kulit-kulit itu untuk sbuah derita panjang Bukanlah orang mati itu istirahat seperti mayat Kematian adalah mati kehidupannya. (Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq) Haibah Dan Uns Aku datangi Aku tak mengerti Dari mana Siapa Aku Melainkan yang dikatakan orang-orang pada diriku, pada jenisku Aku datangi jin dan manusia Lalu tak kutemui siapa pun Lantas kuatangi diriku. Tiba-tiba bisikan halus dalam kalbuku: Amboi, siapakah yang tahu sebab-sebab yang lebih luhur wujudnya toh ia bersukaria dengan kehinaan yang sesat dan dengan manusia Kalau engkau dari kalangan sirna yang hakiki Pastikan engkau ghaib dari semesta, arasy dan kursy Padahal dirimu jauh dari Haal bersama Allah Jauh dari berdzikir Lebih pada Jin dan Manusia. (Abu Said al-Kharraz) Wujd (Ekstase) Gelas yang dibasahi air karena cemerlang beningnya Lalu mutiara yang tumbuh dari bumi emas Sementara kaum Sufi menycikan karena kagum pada cahaya air dalam api dari anggur yang ranum yang diwarisi ´Aad dari negeri Iram sebagai simpanan Kisra Sejak nenek moyangnya. (Abu Bakr asy-Syibly) Jam Dan Farq Engkau wujudkan Nyata-Mu dalam rahasiaku Lisanku munajat kepada-Mu Lalu kita berkumpul bagi makna-makna Berpisah bagi makna-makna pula Jika Gaib-Mu adalah Keagungan dari lintas mataku Toh Engkau buat serasi dari dalam yang mendekat padaku. (Junaid al-Baghdady) Fana’ Dan Baqa’ Ada kaum yang tersesat di padang gersang Ada pula yang tersesat di padang cintanya Mereka sirna, kemudian sirna dalam kesirnaan, lalu sirna total Lalu mereka kekal, dalam kekalnya kekal dari kekaraban dengan Tuhannya. (Syair yang sering dikutip para sufi). Sadar Dan Mabuk Kesadaranmu dari KataKu adalah sinambung Dan mabukmu dari bagianKu menyilakan teguk minuman Tak bosan-bosan peminumnya Tak bosan-bosan peneguknya Menyerah pada sudut piala yang memabukkan jiwanya. Orang-orang mabuk kepayang memutari gelas piala Sedang mabukku dari yang Maha Pemutar Piala Ada dua kemabukan bagiku dan hanya dua penyesal hanya satu Yang diperuntuukan bagi mereka hanya untukku. Dua mabuk kepayang Mabuk cinta Mabuk abadi Ketika siuman Segalanya bugar kembali. am syair lain tentang Mabuk Ilahi ini para Sufi sering mengutip syair, sbb: Pabila pagi cerah dengan kejora citanya itulah keserasian Antara kemabukan dan kesukacitaan. bawah ini masih seputar Rasa Mabuk Ilahi: Dzauq Dan Syurb Gelas minuman adalah susuan kita Kalau tak kita rasa Tak hidup kita Aku heran orang bicara, “Aku telah ingat Allah” Apakah aku alpa? Lalu kuingat yang kulupa? Kuminum Cinta, gelas piala demi gelas Tuntas habis, tak puas pula dahaga. Syair-Syair Al Hallaj Ana Al-Haqq, Al-Hallaj Aku adalah Dia yang kucinta dan Dia yang kucinta adalah aku Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh. Jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia, dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat aku Maha suci zat yang sifat kemanusiaan-Nya, membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian kelihatan baginya makhluk-Nya, dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum. Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku, sebagaimana anggur disatukan dengan air murni. Jika sesuatu menyentuh Engkau, ia menyentuhku pula, dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku. Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku Aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami. Sebelumnya tidak mendahului-Nya, setelah tidak menyela-Nya, daripada tidak bersaing dengan Dia dalam hal keterdahuluan, dari tidak sesuai dengan Dia, ketidak menyatu dengan dia, Dia tidak mendiami Dia, kala tidak menghentikan Dia, jika tidak berunding dengan Dia, atas tidak membayangi Dia,dibawah tidak menyangga Dia, sebaliknya tidak menghadapi-Nya, dengan tidak menekan Dia, dibalik tidak mengikat Dia, didepan tidak membatasi Dia, terdahulu tidak memameri Dia, dibelakang tidak membuat Dia luruh, semua tidak menyatukan Dia, ada tidak memunculkan Dia, tidak ada tidak membuat Dia lenyap, penyembunyian tidak menyelubungi Dia, pra-eksistensi-Nya mendahului waktu, adanya Dia mendahului yang belum ada, kekalahan-Nya mendahului adanya batas. Di dalam kemuliaan tiada aku, atau Engkau atau kita, Aku, Kita, Engkau dan Dia seluruhnya menyatu. Fana’i Fana’i Fana’ Kehinaanku adalah KemuliaanMu Kehilanganku adalah KerinduanMu Ketiadaanku adalah KeabadianMu Kepedihanku adalah CintaMu Kekuranganku adalah KelebihanMu Kesendirianku adalah pertemuanku denganMu Kematianku adalah kebangkitanMu Kebisuanku adalah TitahMu Aku adalah Kamu, Kamu adalah Aku… Warna Agama “Chinese Art and Greek Art” Rasul pernah berkata, “Ada orang-orang yang melihatku di dalam cahaya yang sama seperti aku melihat mereka. Kami adalah satu. Walau tak terhubung oleh tali apapun, walau tak menghafal buku dan kebiasaan, kami meminum air kehidupan bersama-sama.” Inilah sebuah kisah tentang misteri yang tersimpan: Sekelompok Tiongkok mengajak sekelompok Yunani bertengkar tentang siapa dari mereka adalah pelukis yang terhebat. Lalu raja berkata, “Kita buktikan ini dengan debat.” Tiongkok memulai perdebatan. Tapi Yunani hanya diam, mereka tak suka perdebatan. Tiongkok lalu meminta dua ruangan untuk membuktikan kehebatan lukisan mereka, dua ruang yang saling menghadap terpisah hanya oleh tirai. Tiongkok meminta pada raja beberapa ratus warna lagi, dengan segala jenisnya. Maka setiap pagi, mereka pergi ke tempat penyimpanan pewarna kain dan mengambil semua yang ada. Yunani tidak menggunakan warna, “warna bukanlah lukisan kami.” Masuklah mereka ke ruangannya lalu mulai membersihkan dan menggosok dindingnya. Setiap hari, setiap saat, mereka membuat dinding-dindingnya lebih bersih lagi, seperti bersihnya langit yang terbuka. Ada sebuah jalan yang membawa semua warna menjadi ‘warna tak lagi ada’. Ketahuilah, seindah-indahnya berbagai jenis warna di awan dan langit, semua berasal dari sempurnanya kesederhanaan matahari dan bulan. Tiongkok telah selesai, dan mereka sangat bangga tambur ditabuh dalam kesenangan dengan selesainya lukisan agung mereka. Waktu raja memasuki ruangan, terpana dia karena keindahan warna dan seluk-beluknya. Lalu Yunani menarik tirai yang memisahkan ruangan mereka. Dan tampaklah bayangan lukisan Tiongkok dan semua pelukisnya berkilauan terpantul pada dindingnya yang kini bagaikan cermin bening, seakan mereka hidup di dalam dinding itu. Bahkan lebih indah lagi, karena tampaknya mereka selalu berubah warna. Seni lukis Yunani itulah jalan sufi. Jangan hanya mempelajarinya dari buku. Mereka membuat cintanya bening, dan lebih bening. Tanpa hasrat, tanpa amarah. Dalam kebeningan itu mereka menerima dan memantulkan kembali lukisan dari setiap potong waktu, dari dunia ini, dari gemintang, dari tirai penghalang. Mereka mengambil jalan itu ke dalam dirinya, sebagaimana mereka melihat melalui beningnya Cahaya yang juga sedang melihat mereka semua. Selepas Ekstase (Junaid al-Baghdady) Orang-orang menyebutku Sufi, saat kukata Darahku terdiri dari Allah. Seluruh bulu romaku Bakal masuk Surga. Dan bagai Rabi’ah : kutaktakut Neraka O,mata mereka berbinar. Syahwat mereka nanar Inilah susahnya hidup di tengah-tengah masyarakat keledai Sebab terlalu silau dan terpukau oleh matahari bumi Mereka tak sekalipun membutuhkan tongkat Musa Sebab mereka berjubah Al-Hallaj. Dan puas menari Dalam irama khusu’ Rumi Hu, hu,hu,… … … Aku stres, wahai kekasih. Kehilangan kata-kata Di samudra kalimat-Mu. Aku menjadi gila pada suatu hari Berteriak disudut-sudut kota yang hangus oleh nista Ingin lari dari kungkungan para keledai. Ingin mencari mukjizat Nabi : mendaki Tursina-Mu berharap nemu tongkat gembala, lalu ngangon keledai dungu itu di padang-padang kebenaran yang telah mereka lupakan … … assalamu’aika ! kuketuk pintu Kau dalam ekstase panjang. Rabbi, anta maksudi mereka makin terpukau. Hu, hu, hu, … … merekamnya dipita-pita kaset. Memutarnya dikedai-kedai kopi atau diatas pentas puisi. Menenggelamkam diri dalam kebahagiaan semu di lautan yang tak mereka pahami sembari mengunyah dunia : “Pinjami aku tongkatmu, Musa biar kubelah laut kebodohan yang jadi batas kebenaran melangkahi rumah nurani di kedalaman samudera hati.” Aku gila, wahai Kekasih. Aku gila !! Tapi mereka keledai semakin tak sadarkan diri Mengumbar gairah duniawisepanjang hari. Hu, hu, hu, … … Menari-nari Rumi. “Ngigau jadi Rabi’ah Tak takut Neraka, tak butuh Surga Mereka tegang dalam birahi. Kemaluannya menerobos hijab Dan tak lagi mampu menyimpan rahasia. Menggelinding Dan pamer di panggung-panggung kolosal sekaligus murahan Mendengus sana sini. Ngiler kesana kemari hingga puncak orgasme Kian menjauhi bukit Tursina yang menyimpan cahaya Tambah peduli pada kalimat ekstaseku Sambil histeris menoreh daging diri mereka kaligrafi Yang kehilangan makna : Allah, Allah, Allah, … … Aku gila sekaligus takut. Rabbi ! Mereka mengeja bibirku sebagai Kitab Suci : anta maksudi Mereka membaptisku sebagai Sufi Sejati. Mereka ingin menyatu Keledai itu mengunyahku santai-santai bagai mngunyah dunia busuk ini : “Pinjami aku wahai Musa walau sebentar tongkat saktimu. Biar kungebut mendaki bukit-bukti kehidupan para keledai yang tengah asyik bersenggama dengan dunia yang teler tanpa ingat akan cahaya di Tursina.” O, ekstaseku direkam dalam berlusin pita Dibuat makalah : didiskusikan dengan sejumlah seponsor Dibumbui referensi busuk duniawi. Dijadikan nara sumber Dibedah dari berbagai sudut ilmiah semu di hotel brbintang Hu, hu, hu, … … Mereka yang mengaku anak cucu sufi itu larut Sambil memangku para betina. Menjelma menjadi binatang Yang belajar bicara macam manusia. Membuat kesimpulan Tentang perlunya sejarah baru yang baku O, mereka makin lepas landas. Mengingkari banjir bandang Yag menyelamatkan Nuh. Mengingkari kulit mulus Yunus Yang terhindar dari runcingnya gigi ikan buas Mengingkari azab. Mengingkari angin, petir dan bumi Yang berguncang. O, aku menyaksikan Wajah-wajah kaum A’ad dan Tsamud di tengah-tengah mereka Aku seperti tengah menonton Qorun dan Fir’aun berpidato di mimbar Aku bagai sedang diracuni puisi Ubay bin Kalaf yang berapi-api Maka aku berteriak keras-keras terhadap mereka. Mencaci-maki Mengasa ayat-ayat suci jadi pedang yang tajam Dan menuding-nuding kewajah mereka dengan rasa jijik O, para keledai itu sangat profesional dengan peranannya Tak sedikitpun gentar, malah sebaliknya. Mereka kini mengamuk Ke arahku, wahai Kekasih. Sekejap membuatku terpana Bagai menyaksikan reinkarnasi penderitaan Nabai-Nabi O, langit-Mu menggelarkan episode masa-lalu. Ada wajah Zakariya Yang digergaji. Ada wajah Isa yang disalib Dan tangan-Mu menyibak hijab dalam potret nurani: Langit Diserbu darah suci mereka. Lapis bumi teratas merubah diri jadi sayap. Membawa terbang kebenaran ke gerbang mahligai-Nya Dan al-Hallaj merintih dibanjir Tigris yang dia ciptakan Dan Rabi’ah mati diatas sajjadah kesederhanaan Ditikam cinta dan airmata ketakutan. Begitu lama kutunggu akhir kegilaan ini, wahai Kekasih Sebuah penantian yang panjang yang nyaris membuatku bosan. Sambil mencatat semua tingkah-Mu terhadapku. Malam-malam Enkau menarik selimut tidurku dengan sebuah bisikan itu ke itu : “Bangunlah Aku menanti kau di langit pertama-Ku.” Lantas aku menggeliat membuang tahu dunia di kedua pinggir mata hatiku Menepis mimpi-mimpi masyarakat yang melenakan sejak awal malam Membasuh semua kepalsuan dengan bening air suci Kau. O, didalam diri aku ambruk Sujudku basah Di tas sajjadah bumi-Mu. Menikmati batin Yang kini sejuk tersiram kasturi cinta nurani tatkala suluk (saat kuterjaga, jasadku jadi kelaparan selepas ekstase daku mencakar-cakar ladang dunia buat kehidupan). Pecinta Sejati (Syair Muhammad Zuhdi Saad) Kekasih Tuhan itu sakit di dunia ini, Penderitaannya tak kunjung seda, Kesedihannya satu-satunya pelipur hatinya, Barangsiapa benar-benar mencintai Pencipta Agung … Berkelana ke seluruh dunia bersama-Nya, Di dalam pikiran-Nya Dan di karuniai penglihatan akan Dia. Seputar Rasa Mabuk Ilahi: Syair Rabiah Asy Syamiyah Al Adawiyah Dzauq Dan Syurb Gelas minuman adalah susuan kita Kalau tak kita rasa Tak hidup kita Aku heran orang bicara, “Aku telah ingat Allah” Apakah aku alpa? Lalu kuingat yang kulupa? Kuminum Cinta, gelas piala demi gelas Tuntas habis, tak puas pula dahaga. Tentang Mabuk Ilahi para Sufi sering mengutip syair Pabila pagi cerah dengan kejora citanya itulah keserasian Antara kemabukan dan kesukacitaan. Sadar Dan Mabuk Kesadaranmu dari KataKu adalah sinambung Dan mabukmu dari bagianKu menyilakan teguk minuman Tak bosan-bosan peminumnya Tak bosan-bosan peneguknya Menyerah pada sudut piala yang memabukkan jiwanya. Orang-orang mabuk kepayang memutari gelas piala Sedang mabukku dari yang Maha Pemutar Piala Ada dua kemabukan bagiku dan hanya dua penyesal hanya satu Yang diperuntukkan bagi mereka hanya untukku. Dua mabuk kepayang Mabuk cinta Mabuk abadi Ketika siuman Segalanya bugar kembali. Fana’ Dan Baqa’ (Syair yang sering dikutip para sufi). Ada kaum yang tersesat di padang gersang Ada pula yang tersesat di padang cintanya Mereka sirna, kemudian sirna dalam kesirnaan, lalu sirna total Lalu mereka kekal, dalam kekalnya kekal dari kekaraban dengan Tuhannya. Haal Kalau tidak menempati, pasti bukan Haal Setiap yang menempati Pasti hilang Lihatlah bayangan sampai ujungnya Berkurang ketika ia memanjang. Syekh Abul Hasan al-Kharqani qs Aku bukanlah seorang rahib (pertapa). Aku bukan seorang zahid (asketis). Aku bukanlah seorang khatib (penceramah). Aku bukanlah seorang Sufi. Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Esa, dan aku menyatu dalam Keesaan-Mu. TIPUAN PALSU Aku melihat tipu muslihat dunia, tatkala ia bertenggerdi atas kepala-kepala manusia, dan membincangkan manusia-manusia yang terkena tipunya. Bagi mereka, Orang sepertiku tampak amat tak berharga. Aku disamakan olehnya, dengan anak kecil yang sedang bermain di jalanan. MENCINTAI AKHIRAT Duhai orang yang senang memeluk dunia fana, Yang tak kenal pagi dan sore dalam mencari dunia, Hendaklah engkau tinggalkan pelukan mesramu, kepada duniamu itu. Karena kelak engkau akan berpelukan, Dengan bidadari di surga. Apabila engkau harap menjadi penghuni surga abadi, maka hindarilah jalan menuju api neraka. RENDAH HATI Bagaimana mungkin kita dapat sampai ke Sa’ad, Sementara di sekitarnya terdapat gunung-gunung dan tebing-tebing.Padahal aku tak beralas kaki, dan tak berkendaraan. Tanganku pun kosong dan, jalan ke sana amat mengerikan. TENTANG CINTA Engkau durhaka kepada Allah, dan sekaligus menaruh cinta kepada-Nya. Ini adalah suatu kemustahilan. Apabila benar engkau mencintai-Nya, pastilah engkau taati semua perintah-Nya. Sesungguhnya orang menaruh cinta, Tentulah bersedia mentaati perintah orang yang dicintainya. Dia telah kirimkan nikmat-Nya kepadamu, setiap saat dan tak ada rasa syukur, yang engkau panjatkan kepada-Nya. KEPUASAN (QANA’AH) Aku melihat bahwa kepuasan itu pangkal kekayaan, lalu kupegang erat-erat ujungnya. Aku ingin menjadi orang kaya tanpa harta, dan memerintah bak seorang raja. ANUGRAH ALLAH Aku melihat-Mu pada saat penciptaanku, yang penuh dengan anugerah. Engkaulah sumber satu-satunya, pada saat penciptaanku. Hidarkan aku dari anugerah yang buruk. Karena sepotong kehidupan telah cukup bagiku, hingga saat Engkau mematikanku.
0 comments:
Posting Komentar