
Islam  Times -  Wyne Forest, bos besar American Indonesia  Chamber of Commerce,  semacam  Kamar Dagang dan  Industri di Indonesia, ikut hadir dalam  pertemuan dan mengemukakan pendapat senada. Katanya, “kepastian  hukum”  adalah salah  satu pertimbangan utama investor  asing sebelum masuk ke  Aceh. Sebuah  konferensi bisnis dan sebuah pernyataan yang  janggal.  Pekan lalu di  Banda Aceh, Stanley Harsha,  Konsul Amerika di Medan,  mengatakan  investor asing  masih sering ragu dengan “kepastian hukum” dan  “ jaminan  keamanan” berbisnis di Aceh. Sebagian investor,  katanya lagi,  mencemaskan “implementasi syariat Islam”. Harsha mengutarakan  pendapatnya itu saat tampil  sebagai pembicara  dalam Aceh Business  Summit, sebuah  ajang promosi dan penjaringan  investor yang disponsori pemerintah daerah Aceh. “Jika semua persoalan  itu  ditangani dengan baik  investor asing tak akan masalah,”  katanya. Wyne Forest, bos  besar American Indonesia Chamber of  Commerce, semacam  Kamar Dagang dan  Industri di  Indonesia, ikut hadir dalam pertemuan dan mengemukakan  pendapat senada. Katanya, “kepastian  hukum” adalah salah  satu  pertimbangan utama investor  asing sebelum masuk ke Aceh. Tapi  jauh dari yang digambarkan Harsya dan Wyne, Aceh  sebenarnya  cerita  sukses kejayaan modal-modal asing.  Bahkan di saat Aceh  terperosok dalam  konflik berdarah- darah selama 30  tahun lebih. Sejak Mobil Oil  menemukan ladang gas di Arun, sebuah  desa kecil di  Lhokseumawe, pada  1970 , Aceh adalah  ladang uang perusahaan-perusahaan  minyak dan gas dari Amerika Serikat. Betchel Inc., jauh sebelum perusahaan ini  menerima  order miliaran dolar  untuk pembangunan Irak pasca  invasi  Amerika Serikat, mendapat kontrak  jutaan dolar  untuk membangun fasilitas  gas alam cair (LNG) Arun.  Mobil  Oil mendapat keuntungan berlipat sejak mengoperasikan ladang gas itu –  salah satu kawasan  penambangan gas  terbesar dunia — sebelum akhirnya dibeli oleh Exxon Mobil pada 1999. Exxon  kini masih mengoperasikan ladang gas Arun.  Penguasaan ini  memungkinkan  Exxon mengikat kontrak  penjualan jutaan kubik gas ke  Jepang dan banyak  negara  lainnya. Sebuah laporan awal tahun ini menyebutkan kalau operasi perusahaan di  Aceh telah berujung pada  pencemaran lingkungan  berat. Penelitian  lembaga  negara menemukan merkuri dalam jumlah besar di  lokasi perusahaan di Aceh Utara. Pemerintah kabarnya telah  meminta  Exxon  membersihkan dan membayar ganti rugi.  Exxon sejauh ini menolak  bertanggungjawab. Aceh telah  mendapatkan kedamaian lepas Tsunami  2005.  Tak ada lagi konflik  bersenjata. Cengkraman Jakarta di  wilayah  itu juga telah melonggar dan  siapapun bisa  datang berbisnis. Dan  pernyataan Konsul Jenderal  Amerika  awal bulan ini jelas sebuah upaya  untuk  menutup fakta bahwa kehadiran  perusahaan minyak dan  gas Amerika di  Aceh selama ini gagal membawa kesejahteraan pada orang banyak.  [Islam  Times/K-014 /on]Islam  Times -  Wyne Forest, bos besar American Indonesia  Chamber of Commerce,  semacam  Kamar Dagang dan  Industri di Indonesia, ikut hadir dalam  pertemuan dan mengemukakan pendapat senada. Katanya, “kepastian  hukum”  adalah salah  satu pertimbangan utama investor  asing sebelum masuk ke  Aceh. Sebuah  konferensi bisnis dan sebuah pernyataan yang  janggal.  Pekan lalu di  Banda Aceh, Stanley Harsha,  Konsul Amerika di Medan,  mengatakan  investor asing  masih sering ragu dengan “kepastian hukum” dan  “ jaminan  keamanan” berbisnis di Aceh. Sebagian investor,  katanya lagi,  mencemaskan “implementasi syariat Islam”. Harsha mengutarakan  pendapatnya itu saat tampil  sebagai pembicara  dalam Aceh Business  Summit, sebuah  ajang promosi dan penjaringan  investor yang disponsori pemerintah daerah Aceh. “Jika semua persoalan  itu  ditangani dengan baik  investor asing tak akan masalah,”  katanya. Wyne Forest, bos  besar American Indonesia Chamber of  Commerce, semacam  Kamar Dagang dan  Industri di  Indonesia, ikut hadir dalam pertemuan dan mengemukakan  pendapat senada. Katanya, “kepastian  hukum” adalah salah  satu  pertimbangan utama investor  asing sebelum masuk ke Aceh. Tapi  jauh dari yang digambarkan Harsya dan Wyne, Aceh  sebenarnya  cerita  sukses kejayaan modal-modal asing.  Bahkan di saat Aceh  terperosok dalam  konflik berdarah- darah selama 30  tahun lebih. Sejak Mobil Oil  menemukan ladang gas di Arun, sebuah  desa kecil di  Lhokseumawe, pada  1970 , Aceh adalah  ladang uang perusahaan-perusahaan  minyak dan gas dari Amerika Serikat. Betchel Inc., jauh sebelum perusahaan ini  menerima  order miliaran dolar  untuk pembangunan Irak pasca  invasi  Amerika Serikat, mendapat kontrak  jutaan dolar  untuk membangun fasilitas  gas alam cair (LNG) Arun.  Mobil  Oil mendapat keuntungan berlipat sejak mengoperasikan ladang gas itu –  salah satu kawasan  penambangan gas  terbesar dunia — sebelum akhirnya dibeli oleh Exxon Mobil pada 1999. Exxon  kini masih mengoperasikan ladang gas Arun.  Penguasaan ini  memungkinkan  Exxon mengikat kontrak  penjualan jutaan kubik gas ke  Jepang dan banyak  negara  lainnya. Sebuah laporan awal tahun ini menyebutkan kalau operasi perusahaan di  Aceh telah berujung pada  pencemaran lingkungan  berat. Penelitian  lembaga  negara menemukan merkuri dalam jumlah besar di  lokasi perusahaan di Aceh Utara. Pemerintah kabarnya telah  meminta  Exxon  membersihkan dan membayar ganti rugi.  Exxon sejauh ini menolak  bertanggungjawab. Aceh telah  mendapatkan kedamaian lepas Tsunami  2005.  Tak ada lagi konflik  bersenjata. Cengkraman Jakarta di  wilayah  itu juga telah melonggar dan  siapapun bisa  datang berbisnis. Dan  pernyataan Konsul Jenderal  Amerika  awal bulan ini jelas sebuah upaya  untuk  menutup fakta bahwa kehadiran  perusahaan minyak dan  gas Amerika di  Aceh selama ini gagal membawa kesejahteraan pada orang banyak.  [Islam  Times/K-014 /on]
Kamis, 03 Februari 2011
Beginilah kekayaan indonesia dijarah
 22.51
22.51
 Media Grassindo
Media Grassindo
 
 
 
 
 
   
   
   
   
   
   
   
 

 
  
0 comments:
Posting Komentar