Laman

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Kamis, 03 Februari 2011

Beginilah kekayaan indonesia dijarah


Islam Times - Wyne Forest, bos besar American Indonesia Chamber of Commerce, semacam Kamar Dagang dan Industri di Indonesia, ikut hadir dalam pertemuan dan mengemukakan pendapat senada. Katanya, “kepastian hukum” adalah salah satu pertimbangan utama investor asing sebelum masuk ke Aceh. Sebuah konferensi bisnis dan sebuah pernyataan yang janggal. Pekan lalu di Banda Aceh, Stanley Harsha, Konsul Amerika di Medan, mengatakan investor asing masih sering ragu dengan “kepastian hukum” dan “ jaminan keamanan” berbisnis di Aceh. Sebagian investor, katanya lagi, mencemaskan “implementasi syariat Islam”. Harsha mengutarakan pendapatnya itu saat tampil sebagai pembicara dalam Aceh Business Summit, sebuah ajang promosi dan penjaringan investor yang disponsori pemerintah daerah Aceh. “Jika semua persoalan itu ditangani dengan baik investor asing tak akan masalah,” katanya. Wyne Forest, bos besar American Indonesia Chamber of Commerce, semacam Kamar Dagang dan Industri di Indonesia, ikut hadir dalam pertemuan dan mengemukakan pendapat senada. Katanya, “kepastian hukum” adalah salah satu pertimbangan utama investor asing sebelum masuk ke Aceh. Tapi jauh dari yang digambarkan Harsya dan Wyne, Aceh sebenarnya cerita sukses kejayaan modal-modal asing. Bahkan di saat Aceh terperosok dalam konflik berdarah- darah selama 30 tahun lebih. Sejak Mobil Oil menemukan ladang gas di Arun, sebuah desa kecil di Lhokseumawe, pada 1970 , Aceh adalah ladang uang perusahaan-perusahaan minyak dan gas dari Amerika Serikat. Betchel Inc., jauh sebelum perusahaan ini menerima order miliaran dolar untuk pembangunan Irak pasca invasi Amerika Serikat, mendapat kontrak jutaan dolar untuk membangun fasilitas gas alam cair (LNG) Arun. Mobil Oil mendapat keuntungan berlipat sejak mengoperasikan ladang gas itu – salah satu kawasan penambangan gas terbesar dunia — sebelum akhirnya dibeli oleh Exxon Mobil pada 1999. Exxon kini masih mengoperasikan ladang gas Arun. Penguasaan ini memungkinkan Exxon mengikat kontrak penjualan jutaan kubik gas ke Jepang dan banyak negara lainnya. Sebuah laporan awal tahun ini menyebutkan kalau operasi perusahaan di Aceh telah berujung pada pencemaran lingkungan berat. Penelitian lembaga negara menemukan merkuri dalam jumlah besar di lokasi perusahaan di Aceh Utara. Pemerintah kabarnya telah meminta Exxon membersihkan dan membayar ganti rugi. Exxon sejauh ini menolak bertanggungjawab. Aceh telah mendapatkan kedamaian lepas Tsunami 2005. Tak ada lagi konflik bersenjata. Cengkraman Jakarta di wilayah itu juga telah melonggar dan siapapun bisa datang berbisnis. Dan pernyataan Konsul Jenderal Amerika awal bulan ini jelas sebuah upaya untuk menutup fakta bahwa kehadiran perusahaan minyak dan gas Amerika di Aceh selama ini gagal membawa kesejahteraan pada orang banyak. [Islam Times/K-014 /on]Islam Times - Wyne Forest, bos besar American Indonesia Chamber of Commerce, semacam Kamar Dagang dan Industri di Indonesia, ikut hadir dalam pertemuan dan mengemukakan pendapat senada. Katanya, “kepastian hukum” adalah salah satu pertimbangan utama investor asing sebelum masuk ke Aceh. Sebuah konferensi bisnis dan sebuah pernyataan yang janggal. Pekan lalu di Banda Aceh, Stanley Harsha, Konsul Amerika di Medan, mengatakan investor asing masih sering ragu dengan “kepastian hukum” dan “ jaminan keamanan” berbisnis di Aceh. Sebagian investor, katanya lagi, mencemaskan “implementasi syariat Islam”. Harsha mengutarakan pendapatnya itu saat tampil sebagai pembicara dalam Aceh Business Summit, sebuah ajang promosi dan penjaringan investor yang disponsori pemerintah daerah Aceh. “Jika semua persoalan itu ditangani dengan baik investor asing tak akan masalah,” katanya. Wyne Forest, bos besar American Indonesia Chamber of Commerce, semacam Kamar Dagang dan Industri di Indonesia, ikut hadir dalam pertemuan dan mengemukakan pendapat senada. Katanya, “kepastian hukum” adalah salah satu pertimbangan utama investor asing sebelum masuk ke Aceh. Tapi jauh dari yang digambarkan Harsya dan Wyne, Aceh sebenarnya cerita sukses kejayaan modal-modal asing. Bahkan di saat Aceh terperosok dalam konflik berdarah- darah selama 30 tahun lebih. Sejak Mobil Oil menemukan ladang gas di Arun, sebuah desa kecil di Lhokseumawe, pada 1970 , Aceh adalah ladang uang perusahaan-perusahaan minyak dan gas dari Amerika Serikat. Betchel Inc., jauh sebelum perusahaan ini menerima order miliaran dolar untuk pembangunan Irak pasca invasi Amerika Serikat, mendapat kontrak jutaan dolar untuk membangun fasilitas gas alam cair (LNG) Arun. Mobil Oil mendapat keuntungan berlipat sejak mengoperasikan ladang gas itu – salah satu kawasan penambangan gas terbesar dunia — sebelum akhirnya dibeli oleh Exxon Mobil pada 1999. Exxon kini masih mengoperasikan ladang gas Arun. Penguasaan ini memungkinkan Exxon mengikat kontrak penjualan jutaan kubik gas ke Jepang dan banyak negara lainnya. Sebuah laporan awal tahun ini menyebutkan kalau operasi perusahaan di Aceh telah berujung pada pencemaran lingkungan berat. Penelitian lembaga negara menemukan merkuri dalam jumlah besar di lokasi perusahaan di Aceh Utara. Pemerintah kabarnya telah meminta Exxon membersihkan dan membayar ganti rugi. Exxon sejauh ini menolak bertanggungjawab. Aceh telah mendapatkan kedamaian lepas Tsunami 2005. Tak ada lagi konflik bersenjata. Cengkraman Jakarta di wilayah itu juga telah melonggar dan siapapun bisa datang berbisnis. Dan pernyataan Konsul Jenderal Amerika awal bulan ini jelas sebuah upaya untuk menutup fakta bahwa kehadiran perusahaan minyak dan gas Amerika di Aceh selama ini gagal membawa kesejahteraan pada orang banyak. [Islam Times/K-014 /on]

0 comments:


web site counter